Meminum minuman beralkohol tidak hanya berbicara masalah keinginan. Ada unsur-unsur kebersamaan dan sosial di dalam aktivitas ini. Bahkan tanpa disadari, menenggak minuman beralkohol sudah menjadi budaya di negeri ini.

Beberapa daerah di Indonesia menerapkan kebersamaan dengan menjadikan minuman beralkohol sebagai obyek jamuan. Tanpa khawatir akan dampak negatif, minuman beralkohol telah mendapatkan tempat yang spesial sebagai pemersatu di negeri ini.

Misalnya tercantum dalam kisah di Kitab Negarakertagama, yang menjelaskan bahwa minuman beralkohol kerap digunakan sebagai bagian dalam perjamuan agung di keraton Kerajaan Majapahit. Minuman berupa arak juga digunakan sebagai tanda pembukaan perayaan pesta panen raya oleh raja pada masa itu.

Arak yang berasal dari hasil fermentasi beras menghasilkan kadar alkohol yang tinggi. Meski begitu, minuman ini wajib ditenggak sebelum tamu undangan dan pejabat kerajaan menari bersukaria. Bahkan, para tamu undangan biasanya membawakan cenderamata arak lokal khas daerah masing-masing untuk diberikan kepada kerajaan.

Tak hanya itu, sejarah juga mencatat bahwa minuman beralkohol digunakan sebagai ‘pemersatu’ di zaman penjajahan Belanda. Keraton Yogyakarta pun menyediakan tempat khusus untuk melakukan ritual minum bersama, yang diberi nama Bangsal Sarangbaya.

Berbagai ritual adat di negeri ini juga kerap menyertakan minuman beralkohol sebagai bagian di dalamnya. Misalnya saja pada masyarakat Bali yang menggunakan minuman beralkohol dalam ritual Bhuya Yadnya untuk mengusir roh jahat.

Ada pula tradisi ritual yang kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Doko, Kediri yang juga menggunakan minuman beralkohol. Minuman tersebut nantinya dibawa ke komplek pemakaman Prabu Anom tepat pada bulan Suro. Pemberian minuman tersebut dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur.

Serupa dengan masyarakat di pulau Jawa dan Bali, penduduk di pulau timur Indonesia juga menggunakan minuman beralkohol dalam ritual adatnya. Masyarakat Lombok kerap menghidangkan Arak saat menyambut tamu, demikian halnya masyarakat Papua yang juga menghidangkan Sopi sebagai simbol persaudaraan.

Sementara itu, bagi masyarakat Flores, Tuak kerap digunakan sebagai minuman harian pengganti air mineral. Hal ini terutama terjadi di kampung Ile Ape, Lembata, Flores Timur. Fenomena ini muncul akibat terjadinya kesulitan air di masyarakat, sehingga mengharuskan mereka mengonsumsi Tuak sebagai pengganti air minum di daerahnya.

Berbeda dengan saat ini, minuman beralkohol pada masa itu lebih dominan didapatkan dari para produsen lokal/tradisional dan bersifat resmi/legal. Bahkan minuman beralkohol tersebut juga dioplos dengan minuman beralkohol tradisional lainnya, untuk mendapatkan rasa yang bervarisasi. Masyarakat juga bisa memperoleh minuman beralkohol tersebut dengan mudah tanpa harus bersembunyi dari aparat keamanan.

Namun, seiring perkembangan zaman, peraturan mulai diterapkan. Kini, pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol sudah resmi diatur oleh pemerintah. Pemerintah pun telah menetapkan aturan dan sanksi yang jelas jika terjadi penyalahgunaan penyebaran dan penggunaan minuman ini.

Faktor utama tingginya konsumsi minuman beralkohol di bawah standar kualitas mutu dikarenakan terdapat pemisah harga serta tingginya permintaan konsumen. Produsen minuman beralkohol skala rumahan mengambil kesempatan ini dengan menyediakan produk yang diragukan keamanannya.

Bagi konsumen, tersedianya minuman beralkohol dengan harga murah mendorong minat mengonsumsi tanpa pertimbangan baku mutu produk. Sayangnya, inilah yang terjadi.

Data Centre of Indonesia Policy Studies mencatat angka kematian akibat oplosan pada 2016 mencapai 59 orang meninggal dan 27 orang berada dalam kondisi buruk akibat mengonsumsi bir secara berlebihan. Bahkan jika ditotalkan, angka kematian akibat minuman oplosan berjumlah 487 jiwa.

 

credit photo : flickr.com/through_my_lens